Jumat, 05 Oktober 2012

Passport

Beberapa waktu lalu saya mendapat email dari kawan saya, yang isinya kutipan dari blog Rhenald Khasali. Artikel ini sangat menginspirasi sekali, silakan di hayati. :D

 





Passport - by Rhenald Kasali

Pasport - Jawapos 8 Agustus 2011

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki pasport.  Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat tangan.  Ketika ditanya berapa yang sudah pernah
naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah
pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah
pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR
dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi
tugas mengurus pasport.  Setiap mahasiswa  harus memiliki "surat ijin
memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,
terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril.  Dua minggu
kemudian,  mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini?  Saya katakan,
pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu.  Tidak boleh ke Malaysia,
Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam.  Pergilah sejauh yang mampu
dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu.  *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang. *Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint.  Dan hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga
para dosen steril yang kurang jalan-jalan.  Bagi mereka yang tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas
kewajaran dan buang-buang uang.  Maka tak heran banyak dosen yang takut
sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.
Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para
pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok
backpackers. Mereka adalah pemburu  tiket dan penginapan super murah,
menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring.  Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,
yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah
rajin bepergian.  Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima
Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang
dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar.  Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan
menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara.  Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi.  Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
*

The Next Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan,  dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari
Revolusi Industri.  dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk
dunia telah meningkat dua puluh kali lipat.  Maka kendati penduduk miskin
masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun.  Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket
pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia.  Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching.  Dalam jarak tempuh sembilan
jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan
infrastruktur yang buruk ada di bagian sini.  Sedangkan hal sebaliknya ada
di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan
memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat
minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya.  Kami menembus
Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung
melawan arus globalisasi.  Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau
diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka
perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani.  Saat anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah
punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri.  Sekali lagi,
jangan tanya darimana uangnya.  Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan
kotak sumbangan.  Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya
sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu
tidak.  Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang
mereka anak petani dan nelayan.  Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang
meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh.  Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport.  Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport
pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri.  Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya
mendapat bea siswa di Amerika Serikat.  Ayo, jangan kalah dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia *




1 comments:

Unknown mengatakan...

huaaa,,, mantap pak DOSEN!!!! ^_^

Posting Komentar